Rabu, 29 Maret 2017

Keraton Tirtayasa

Keraton Tirtayasa
Terletak 10 kilometer sebelah timur Keraton Surosowan, Keraton Tirtayasa pada awalnya dibangun karena Sultan Ageng Tirtayasa hendak menikmati masa tuanya setelah lebih kurang 30 tahun memerintah, sembari mengembangkan pertanian di daerah tersebut. Jaringan irigasi dan kanal-kanal pun dibangun.

Di Keraton Tirtayasa inilah tempat berakhirnya masa kejayaan Kesultanan Banten. Putera mahkota Sultan Haji yang diserahkan tugas oleh ayahnya untuk menangani urusan dalam negeri, kemudian diam-diam bekerjasama dengan Kompeni dan melakukan kudeta.

Keraton Kaibon

Keraton kaibon

Ditinjau dari namanya (Kaibon = Keibuan), keraton ini dibangun untuk ibu Sultan Syafiudin, Ratu Aisyah mengigat pada waktu itu, sebagai sultan ke 21 dari kerajaan Banten, Sultan Syaifusin masih sangat muda (masih berumur 5 tahun) untuk memegang tampuk pemerintahan.
Keraton Kaibon ini dihancurkan oleh pemerintah belanda pada tahun 1832, bersamaan dengan keraton Surosowan. Asal muasal penghancuran keraton, adalah ketika Du Puy, utusan Gubernur Jenderal Daen Dels meminta kepada Sultan Syafiudin untuk meneruskan proyek pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan, juga pelabuhan armada Belanda di Teluk Lada (di Labuhan). Namun, Syafiuddin dengan tegas menolak. Dia bahkan memancung kepala Du Puy dan menyerahkannya kembali kepada Daen Dels yang kemudian marah besar dan menghancurkan Keraton Kaibon.

Berbeda dengan kondisi keraton Surosowan yang boleh dibilang "rata" dengan tanah. Pada keraton Kaibon, masih tersisa gerbang dan pintu-pintu besar yang ada dalam kompleks istana. Pada keraton Kaibon, setidaknya pengunjung masih bisa melihat sebagin dari struktur bangunan yang masih tegak berdiri. Sebuah pintu berukuran besar yang dikenal dengan nama Pintu Paduraksa (khas bugis) dengan bagian atasnya yang tersambung, tampak masih bisa dilihat secara utuh. Deretan candi bentar khas banten yang merupakan gerbang bersayap.
Di bagian lain, sebuah ruangan persegi empat dengan bagian dasarnya yang lebih rendah atau menjorok ke dalam tanah, diduga merupakan kamar dari Ratu Aisyah. Ruang yang lebih rendah ini diduga digunakan sebagai pendingin ruangan dengan cara mengalirkan air di dalamnya dan pada bagian atas baru diberi balok kayu sebagai dasar dari lantai ruangan. Bekas penyangga papan masih terlihat jelas pada dinding ruangan ini.
Arsitektur Keraton Kaibon ini memang sungguh unik karena sekeliling keraton sesungguhnya adalah saluran air. Artinya bahwa keraton ini benar-benar dibangun seolah-olah di atas air. Semua jalan masuk dari depan maupun belakang ternyata memang benar-benar harus melalui jalan air. Dan meskipun keraton ini memang didesain sebagai tempat tinggal ibu raja, tampak bahwa ciri-ciri bangunan keislamannya tetap ada; karena ternyata bangunan inti keraton ini adalah sebuah mesjid dengan pilar-pilar tinggi yang sangat megah dan anggun. Dan kalau mau ditarik dan ditelusuri jalur air ini memang menghubungkan laut, sehingga dapat dibayangkan betapa indahnya tata alur jalan menuju keraton ini pada waktu itu

Keraton Surosowan

Keraton Surosowan

Keraton Surosowan Banten merupakan keraton peninggalan zaman Kerajaan Banten di masa kejayaannya. Keraton tersebut dibangun sekitar 1522-1526 di masa pemerintahan Maulana Hasanuddin yang lebih dikenal dalam catatan sejarah sebagai pendiri dari Kesultanan Banten. Di era selanjutanya, Keraton tersebut mengalami perubahan yang melibatkan salah seorang arsitek yang bernama Hendrik Licasz Cardeel yang berasal dari negara Kincir Angin, Belanda untuk ikut andil mendesain keraton. Konon, arsitek yang membantu meningkatkan bangunan Keraton Surosowan tersebut kemudian memeluk agama Islam dan lebih dikenal dengan sebutan Wiraguna.

Arsitektur Keraton Surosowan Banten ini dapat dilihat keunikannya dengan adanya benteng kokoh dengan tinggi sekitar 2 meter dan lebar 5 meter yang mengitari keraton. Keraton Surosowan juga memilki 3 gerbang masuk yang masing-masing terletak di bagian sisi utara, timur, dan selatan Keraton. Tetapi, pintu di bagian selatan ditutup permanen dengan alasan yang sampai saat ini masih belum diketahui. Di bagian tengah-tengah keraton terdapat sebuah kolam dengan beberapa ruang pemandian yang dapat ditemukan di lingkungan keraton.
Kolam taman yang terletak di dalam keraton ini dinamakan dengan “Bale Kambang Rara Denok”. Terdapat pancuran untuk pemandian yang disebut dengan Pancuran Mas. Kolam Rara Denok adalah tempat pemandian berbentuk kolam persegi empat dengan panjang 30 meter dan lebar 30 meter, sedangkan kedalaman kolam tersebut berkisar 4,5 meter. Air untuk kolam tersebut didapatkan dari sumber air yang berjarak kurang lebih 2 kilometer dari Surosowan yang berbentuk sumur dan danau. Danau tersebut lebih dikenal oleh masayarakat setempat dengan sebutan Danau Tasikardi.
Keraton Surosowan Banten ini secara lengkapnya terletak di kota Serang, Banten. Lebih tepatnya di Desa Banten, Kecamatan Kasemen di kawasan Banten Kuno atau Banten Lama. Kini, keberadaan Keraton Surosowan menjadi saksi bisu dari masa kejayaan Kesultanan Banten yang bersisa puing-puing batu yang berserakan dan beberapa bagian keraton yang masih utuh sampai saat ini.
Keraton ini dulunya merupakan tempat tinggal raja berserta keluarganya. Layaknya keraton-keraton yang ada di Jawa, Keraton Surosowan juga berfungsi sebagai tempat tinggal raja, selain itu juga berfungsi sebagai pusat kerajan dalam menjalankan segala bentuk aktivitas kerajaan dan pemerintahan. Semua itu dapat dilihat dan ditemukan dari artefak yang masih ada, yakni alun-alun di sebelah Masjid Agung di bagian barat serta pasar dan pelabuhan di sisi utara dan timur keraton.
Keraton ini mengalami kehancuran pada tahun 1680-an yang disebabkan oleh serangan Belanda. Pembangunan Keraton Surosowan kemudian dilakukan kembali dengan perbaikan sana-sini mesikup pada akhirnya harus mengalami kehancuran kembali akibat serangan Belanda pada tahun 1813, yakni ketika Daen Dels menjabat sebagai gubernur. Pada saat itu, Daen Dels meminta Kesultanan untuk memperpanjang proyek Anyer Panarukan.
Namun, permintaan tersebut ditolah oleh pihak Kesultanan Banten dengan cara yang cukup kasar, yakni pemenggalan kepala Du Puy selaku utusan Daen Dels dalam memohon perpanjangan proyek tersebut. Hal tersebut membuat Daen Dels marah dan kemudian menyerang Keraton Surosowan serta Keratin Kaibon sebagai bentuk kemarahannya. Itulah sebabnya, yang tertinggal di Keraton Surosowan ini hanyalah puing-puing yang berserakan saja